Setiap kali akan berangkat kerja, anak saya Farizi selalu merengek agar saya tidak pergi ke kantor dan meninggalkannya bersama sang pengasuh di rumah. Kata2 yang paling menyentuh adalah "Mama jangan kerja. Kok aku ditinggal, kan aku kasihan. Aku kan anak Mama".
Biasanya kata2nya akan membuat saya merasa sangat sangat bersalah. Saya tahu bahwa Farizi sangat membutuhkan saya. Waktu penuh yang saya sediakan pada hari Sabtu dan Minggu tentunya tidak akan pernah cukup buatnya. Sayapun rindu dengan tahun pertama kelahirannya dimana saya full menjadi ibu rumah tangga untuk merawat dan mengasuhnya dengan tangan saya sendiri. Saya sangat menikmati saat2 dimana saya bisa mencurahkan sepenuh rasa sayang, cinta dan perhatian untuknya.
Kalau saya kemudian kembali berkarir ketika ia telah berusia di atas satu tahun tentunya bukan tanpa alasan yang kuat. Itupun harus saya lakukan dengan segenap keterpaksaan karena naluri seorang ibu selalu menggelitik rasa berdosa karena telah meninggalkan seorang anak kecil yang masih sangat haus akan belaian sayang dan dekapan hangat sang ibunda.
Saya sendiri tak pernah punya banyak kenangan indah masa kecil bersama sang ibu. Beliau pergi mendahului saya kembali ke Sang pencipta disaat usia saya masih sangat belia. Hal yang sangat menyiksa adalah ketika moment pengambilan raport datang. Walau ketika itu kebetulan jadi si nomor satu di kelas saya tetap merasa ada yang kurang. Saya tidak bisa seperti anak2 lain yang bisa pulang sambil berlari-lari senang karena tak sabar untuk memamerkan raport mereka. Sementara saya ? Hanya bisa melangkah lunglai karena saya tahu setelah sampai rumah raport tersebut hanya akan saya nikmati sendiri. Saya tak pernah berharap muluk untuk dapat hadiah karena meraih rangking satu. Cukup bila saya melihat senyum sang ibu mengembang dan mengatakan "Wah hebat ya anak Umi bisa jadi rangking satu" itu sudah lebih dari cukup bagi saya. Tapi yang sesederhana itupun tak mungkin saya dapatkan karena sang ibu sudah terbaring abadi dalam pelukan bumi. Dan untuk mereduksi rasa sedih biasanya saya akan membuka lemari pakaian dan mulai menangis di atas tumpukan pakaian. Saya akan mengkhayal bahwa saya sedang menangis dalam pelukan lembut sang ibu.
Setelah menikah dan hampir menjadi seorang ibu saya selalu bertekad untuk memberikan yang terbaik untuk anak saya kelak. Pokoknya saya berjanji akan mengusahakan anak saya mendapatkan apa yang tidak saya dapatkan di masa lalu.
Alhamdulillah, saya bisa memberi sang anak asi ekslusif dan bisa menyusuinya hingga 2 tahun. Tak ada yang lebih indah selain momen2 yang kami habiskan berdua. Betapa melambungnya hati ini ketika dapat panggilan 'mama' untuk kali pertama. Tak ada tetesan air mata dan kegalauan yang lebih besar yang pernah saya alami kecuali ketika anak saya jatuh sakit atau terjatuh dari atas tempat tidur atau mogok makan karena sedang sariawan. Tak ada kebahagiaan terbesar yang pernah saya rasakan kecuali ketika tatapan kami saling berpadu dan ia memberi saya senyum terindah yang ia punya sambil mengoceh tak karuan. Saya tak mengerti arti ocehannya tapi selalu mengerti apa yang ia inginkan. Saya berusaha menjadi sosok pertama yang ia lihat ketika membuka mata dan menjadi sosok terakhir yang ia lihat ketika memejamkan mata untuk tidur.
Kalau melihat paras wajahnya ketika ia terlelap rasanya saya sering dihinggapi rasa bersalah yang sedemikian besar karena sering gagal menahan sabar dan mengumbar kemarahan terhadap setiap kenakalan yang ia lakukan. Dan hati ini akan semakin teriris bila mengingat kata2 yang keluar dari mulut mungilnya sebagai reaksi dari luapan kemarahan saya "Maaf Mama. Ampun Ma". Ah sayangku, betapa mamamu ini harus belajar lebih banyak lagi untuk bisa lebih sabar dan bijaksana dalam mendidikmu. Maafkan mama juga ya, sayang"......
"Mama besok jangan kerja ya...." Itu selalu permintaan yang ia haturkan pada saya tiap malam. Ah saya kembali termangu sedih mendengarnya. Mungkinkah saya bisa terus berkarir tapi tetap punya waktu yang melimpah untuk sang anak tercinta ? Ternyata bisa.....dan sangat bisa.
Keputusan untuk menjadi full TDA saya gulirkan dan ternyata saya kembali bisa mereguk indahnya masa2 emas bersama Farizi dan tetap bisa berkarir bahkan kali ini saya sekaligus bisa mencapai cita2 saya sejak 7 tahun lalu, bisa menggeluti dunia wira usaha.
"Mama besok nggak ke kantor kan ? Kerja di lap top aja kan ?" Sepasang mata sipitnya (yang ia warisi dari saya) menatap saya penuh harap dan senyum manisnya kembali mengembang tatkala saya memberinya anggukan kecil sambil berucap "Iya sayang..."
Tubuhnya yang mungil langsung terlonjak gembira dan iapun bergegas berlari menghampiri tumpukan lampu koleksinya dan sebentar kemudian menghampiri saya sambil menunjukkan sebuah lampu.
"Ma, ini lampu philips yang dibeliin papa di carefour. Besok beliin lampu Hannock ya. Thank you, Ma..."
Iya sayang, Apa sih yang nggak buat kamu..............